Kamis, 21 Oktober 2010

Saya Hanya Ingin Menjadi Manusia

Tak seperti biasanya, pagi itu perjalanan saya dari kos menuju kampus I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melewati rute berbeda. Jalan kaki tentunya. Bukan karena alasan kesehatan, melainkan karena saya tidak punya sepeda motor. Jalur yang saya lalui adalah menyusuri lembah di tepi danau Situ Gintung yang kering kerontang akibat jebol 1 tahun lalu. Melewati gerbang utama gedung Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) yang baru, di sebelah utara kompleks Sekolah Pasca Sarjana. Jalur ini saya pilih karena di tepi jalan masih ditumbuhi pepohonan yang sangat rindang. Biasanya saya berjalan melewati depan atau barat gedung FKIK yang lebih gersang.

Pagi itu saya memang sedikit terlambat berangkat sehingga matahari mendahului saya bertengger di cakrawala timur. Jam 7.15, saya melirik jam tangan pemberian ayah sejak tahun 2004. Hmmm, terik matahari sudah panas. Bukannya saya tak suka sinar ultra violet yang Allah ciptakan, tapi akhir-akhir ini sepagi ini sengatan sinarnya cukup perih di kulit. Sudahlah kulit saya gelap, cepat menyerap panas pula.

Jalan ini melintang dari timur ke barat. Jadi, bila saya menuju kampus I yang berada di barat, perjalanan akan membelakangi matahari. Berbeda dengan para gadis yang saya temui di sepanjang jalan ini, paras ayu mereka cerah merekah memberi semangat pagi kepada saya. Mereka adalah para mahasiswi Fakultas Kedokteran yang hendak menghilangkan dahaga ilmu pengetahuan hari itu. Perjalanan mereka justru menantang matahari. Ada yang berjalan kaki, namun ada juga yang membawa sepeda tapi dituntun, tidak dinaiki. Aneh. Terik mentari pagi tidak melunturkan semangat uthlub al-‘ilma min al-mahdi ila al-mahdi dalam jiwa mereka, justru menginjeksi ghiroh para gadis ini. Jika mereka menyusuri lembah ini menurun menantang matahari, maka saya mendaki membelakangi mengacuhkan sinarnya.

Jalan yang mendaki secara otomatis memaksa saya melangkahkan kaki dengan lambat. Ini memberi saya kesempatan memandangi wajah mereka agak lama. Menarik. Sungguh luar biasa kemahakuasaan Allah menciptakan wajah-wajah ini. Ini adalah wajah-wajah calon dokter negeri Indonesia. Wajah-wajah calon apoteker. Wajah-wajah garda terdepan penanggung jawab kualitas kesehatan 200 juta manusia di seluruh nusantara. Wajah-wajah ahli kesehatan yang mumpuni, yang menjadi khalifah di muka bumi ini hanya mengharap ridho-Nya, tidak lebih dari itu. Wajah-wajah dokter masa depan yang mau mendengarkan curhatan pasiennya. Wajah-wajah apoteker yang memberikan racikan obat yang benar. Wajah-wajah pengelola rumah sakit handal yang memberikan pelayanan kesehatan prima kepada semua pasien dengan adil tidak pilih kasih. Bahkan wajah-wajah calon menteri kesehatan yang memperhatikan kesehatan rakyat Indonesia. Tidak ada lagi alasan untuk tidak menyehatkan anak negeri ini. Bebas dari busung lapar. Kesehatan gratis untuk rakyat miskin. Tentunya ini sekedar harapan yang layak untuk saya mohonkan kepada-Nya, agar wajah-wajah yang saya tatap ini bukan wajah-wajah dokter malpraktek. Bukan wajah-wajah perawat sembrono. Bukan wajah-wajah apoteker yang tidak becus. Bukan wajah-wajah tenaga medis koruptif. Bukan wajah-wajah menteri kesehatan dan pegawai Kementrian Kesehatan yang berbudaya korupsi, menggunakan anggaran negara hanya untuk program-program yang jauh dari menyehatkan rakyat. Bukan wajah-wajah ahli kesehatan yang hanya memilih berprofesi di bidang ini untuk sekedar gengsi, tinggi derajat, dan kesombongan semata.

Ya, gengsi dan harapan derajat yang tinggi adalah pikiran saya dulu di masa akhir SMA. Seperti siswa pada umumnya bingung menentukan kuliah di mana, jurusan apa, bidang apa, dan lain sebagainya. Segala kebingungan itu hanya bermuara pada ingin menjadi apa saya nanti. Ternyata Allah menunjukkan jalan lain karena niat yang tidak benar ingin kuliah di FK UNAIR dengan tidak meluluskan saya kuliah di sana. Walaupun di tahun berikutnya saya diterima di Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR, namun saya tolak karena saya lebih memilih hijrah ke UIN Jakarta hanya karena UIN Jakarta bukan IAIN lagi. Ini juga urusan gengsi. Bagi saya dulu gengsi lulusan SMA Unggulan DU2 BPPT yang mayoritas kuliah di universitas harus kuliah di institut agama.

Bukan cerita masa lalu yang ingin kusampaikan di sini, namun esensi ‘menjadi apa’ yang saya pikirkan sepanjang jalan menatap wajah-wajah mahasiswi kedokteran ini. Sebuah refleksi kehidupan dari wajah-wajah ini yang mendadak menjadi cermin pada kehidupan kita, terutama saya.

“Adalah”, “menjadi”, “to be”, “kun” –begitu pentingnya bagi manusia, juga bagi saya sendiri. Sewindu sudah berproses hanya bergelut dengan masalah eksistensi diri yang malah merepotkan. Mungkin di usia senja saya kelak, semua hal eksistensialisme ini terasa menggelikan. Belajar dari Cak Nun, almarhum Cak Nur, dan almarhum Gus Dur, akhirnya saya menemukan bahwa padanan “menjadi” itu ya “manusia”. Menjadi manusia. Dan ternyata itu susahnya bukan main.

Bukan menjadi dokter, bukan menjadi pengusaha, bukan menjadi pemuka agama, bukan menjadi astronot, bukan menjadi politisi, bukan menjadi pejabat, bukan menjadi pengacara, bukan menjadi artis, bukan menjadi seniman, bukan menjadi penulis, bukan menjadi musisi, bukan menjadi ini, itu, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.

Saya hanya ingin menjadi manusia. Bebas dari label-label, formalitas status, profesi, atau apapun. Manusia lengkap dengan kemanusiaannya. Manusiawi. Humanis. Memandang manusia karena dia manusia. Bukan hewan, dewa, malaikat, apalagi Tuhan. Tak luput dari segudang kesalahan sebagai manusia.

Jadilah dokter yang memanusiakan manusia. Jadilah politisi yang manusiawi. Jadilah pengusaha, pemuka agama, polisi, tentara, seniman, pejabat yang humanis. Tidak lupa bahwa kita sebenarnya adalah manusia. Jadilah apapun. Jadilah manusia. Makhluk yang tidak bisa hidup tanpa Tuhan.

Perjalanan saya tiba di ujung jalan ini. Bertemu sebuah pertigaan. Saatnya berbelok ke kanan. Bertemu dengan ragam wajah lain. Wajah manusia.

-~ J.J. Ahmad ~-
Ciputat, 20.10.2010

3 komentar: