Minggu, 24 Oktober 2010

Siapa Pahlawan Perekonomian?

Salam sukses! Sebetulnya salam itu dari jenis yang paling tidak saya suka. Saat masih kuliah dulu, saya sangat anti terhadap orang-orang beraliran Successman dan Bussinessmen. Dimata saya, mereka itu orang-orang yang hidupnya hanya didedikasikan untuk mencari keuntungan dan keuntungan. Lainnya: no way! Topik pembiacaraan mereka tidak akan jauh dari: kiat-kiat berusaha, memulai usaha dari nol, rahasia sukses CEO, dan sebagainya. Muak sekali, padahal masih banyak persoalan yang butuh digarap oleh otak cerdas mereka. Kalau bertemu dengan orang seperti itu sudah pasti kutinggalkan dia ngoceh sendiri.

Usaha kecil dan menengah (disingkat: UKM) selama krisis 1998 menjadi basis perekonomian yang tahan banting. Dibanding bentuk usaha besar yang sangat tergantung dengan perbankan, UKM mampu melewati badai krisis dengan elegan. Itu mengapa di Indonesia yang perekonomiannya disokong kuat oleh UKM tidak banyak terjadi gejolak di tingkat bawah. Berbeda dengan di negara-negara maju dimana industrinya menjadi tulang punggung perekonomian dari tingkat atas hingga bawah. Mereka sangat kewalahan mengahadapi badai krisis finansial saat itu.

UKM menjadi sangat tahan terhadap badai krisis finansial disebabkan ia tidak terikat kuat pada sistem perbankan. Sebagian besar modal mereka tidak didapatkan dengan meminjam bank, akan tetapi merupakan modal sendiri atau patungan. Sehingga saat banyak bank digoyah krisis keuangan, mereka tenang-tenang saja. Bahkan, UKM tetap mampu menghidupi dan menyediakan lapangan pekerjaan waktu itu, meskipun sedikit menurun.

Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang menghadapi permasalahan yang sama dengan kebanyakan negara-negara berkembang lainnya. Tingkat pengangguran masih menjadi beban perekonomian di dalam negeri. Setahu penulis, tingkat pengangguran di Indonesia belum terselesaikan dengan tuntas sampai dengan saat ini. Selain penyediaan lapangan kerja yang meningkat dari tahun ke tahun, persoalan rendahnya kualitas SDM juga menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh pemerintahan terpilih. Dengan menyusun formula regulasi yang tepat, pemerintah dapat memaksimalkan sarana yang sudah ada. Perbankan sebagai sarana penyedia modal menjadi sasaran utama yang butuh digarap untuk meningkatkan perekonomian, khususnya tingkat bawah.

Memang sudah tepat fungsi perbankan sebagai pendistribusi modal. Menjadi jembatan di antara empunya duit dengan orang-orang yang butuh duit untuk usaha. Akan tetapi saya menyayangkan perbankan selama ini hanya menjadi money bussiness, kurang tertanam semangat mengambangkan perekonomian tingkat bawah. Jadi, hanya pengusaha-pengusaha besar saja yang bisa menikmati layanan jasanya. Tidak terkecuali bank syariah, yang pada awal kemunculannya digadang dapat mendamaikan antara agama dan sistem perbankan. Pada kenyataannya sistem bagi hasil hanya kedok untuk menghindari riba, padahal kalau dicermati tampak bagi hasil sama dengan bunga fix rate bank konvensional yang ditetapkan di depan.

Cukup lama pindah-pindah menjadi pegawai, saya merasakan ada semacam kejenuhan dalam diri. Tugas-tugas yang diberikan kantor semakin hari semakin saya rasakan sebagai penjara yang membatasi saya untuk berkreatifitas, mengembangkan bakat dan memuaskan kesenangan. Saya yakin ini banyak juga dirasakan oleh banyak pegawai-pegawai kantoran lainnya. Memang tidak mudah untuk lepas dari jerat kenyamanan semu ini. Butuh keberanian untuk keluar darinya. Dan, sebagian besar dari kita lebih memilih bertahan sambil mengumpulkan sisa-sisa tenaga dan semangat untuk tetap dalam zona aman itu. Alih-alih akan mendapat penghidupan yang lebih layak, bisa-bisa kita akan menjadi pengangguran tak tahu juntrungannya, begitu mungkin pikir kita.

Atas dasar kebosanan yang mendera, akhirnya saya memberanikan diri untuk segera meninggalkan zona aman sebagai pegawai kantoran. Harus ada resolusi sebagai jalan keluar mengakhiri hari-hari yang membosankan di tempat kerja. Keputusan sudah bulat untuk memulai usaha sendiri secara mandiri. Beberapa alternatif usaha telah siap untuk didiskusikan dengan kawan-kawan seperjuangan.


Atas dasar cinta Tanah Air saya mengajak kepada kawan-kawan pembaca untuk segera memulai usaha sendiri. Bisa dengan modal sendiri dari hasil menabung uang gajian atau dengan cara patungan dengan teman. Bukan didasari dengan motif tunggal mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tapi untuk mengembangkan kreatifitas dan bakat. Serta, meningkatkan kualitas waktu kita yang seharusnya diisi dengan berbagai aktifitas menyenangkan. Kepada orang-orang dengan usaha sendiri ini, saya berani menyebutnya sebagai: pahlawan perekonomian!

Pada akhir tulisan ini saya ingin mengucapkan kepada pembaca sekalian: selamat berjuang!


~Ato Urroichan~

Subsidi untuk Siapa?

Beberapa waktu yang lalu penulis berkeluh kepada seorang kawan soal motor yang susah diajak lari kencang. Akselerasi motorku tidak bisa spontan. Untuk mencapai top speed harus digiring dalam jarak yang cukup jauh. Singkat cerita kawan itu kemudian menyarankan mengganti bahan bakar dengan Pertamax, sebuah merek gasoline milik Pertamina. Memang sedikit mahal, tapi efeknya pada motor sangat memuaskan, demikian kata kawan itu. Tapi, pada akhirnya kuabaikan saja nasehat teman itu, dibayar berapa oleh Pertamina kawan ini, pikirku.

Porong – Surabaya kurang lebih berjarak 35 kilometer. Tiap hari kulalui jalanannya yang selalu ramai bolak-balik. Capek juga sih, tapi apa boleh buat, Surabaya sudah seperti kampung sendiri.

Seperti pada umunya pengendara motor di wilayah urban, pengendara motor di jalan antara Surabaya – Porong berkarakter kebut-kebutan dengan jarak yang pendek. Akselerasi menjadi syarat utama untuk kebut-kebutan di jalan yang ramai seperti itu. Untuk motor dengan tarikan loyo sudah pasti akan menjadi bulan-bulanan motor lain.

Huh! Kesalnya minta ampun saat menjadi yang terlemot selama diperjalanan. Harus ada perubahan! Pikirku. Bermunculan kemudian ide untuk me-upgrade mesin. Menaikkan kompresi dengan memangkas dua atau dua setengah milimeter blok mesin, mengganti CDI, knalpot dan busi dengan jenis racing, dan sebagainya. Hitung kena hitung, rupanya total ongkosnya jauh dari dikatakan murah, sementara tabungan belum juga tambun. Hmm.. apa boleh buat, musti sabar menunggu sampai tabungan cukup.

Suatu hari penulis keluar kota untuk mengunjungi seorang kawan. Membayangkan motor yang lemot rasanya berat akan memulai perjalanan. Berhubung janji harus ditepati, akhirnya dengat berat hati berangkat juga.

Ditengah-tengah perjalanan bahan bakar habis, harus segera menepi untuk mengisi bahan bakar. Saat hendak masuk SPBU, teringat nasehat kawan beberapa waktu lalu untuk mengganti bahan bakar dengan Pertamax. Boleh juga, pikirku. Akhirnya kuputuskan untuk mencoba saran itu.

Kalau dihitung-hitung harga 10 ribu Premium itu setara dengan harga 15 ribu lebih sedikit Pertamax. Tak apalah selisih lima ribu perak, semoga saja benar apa yang disarankan kawan itu.

Selesai mengisi bahan bakar, perjalanan kulanjutkan. Begitu handle gas kuputar, wuss! Gila, enteng bener tarikannya, begitu reaksiku pertama kali. Rupanya benar apa yang disarankan kawan itu. Motorku jadi lebih enak diajak ber-akselerasi. Jadilah perjalanan ke luar kota itu sangat menyenangkan. Sekarang motorku bisa diajak lari kencang. Terimakasih, kawan! Sejak saat itu motorku cuma mau mengkonsumsi Pertamax. :))

Angka oktan produk Pertamax adalah 92, sedangkan produk Premium 88. Pertamax jenis unlieaded gasoline, bahan bakar tanpa timbal, sedangkan premium dari jenis dengan campuran timbal. Oktan yang tinggi menjadikan Pertamax lebih besar menghasilkan energi, juga lebih ramah lingkungan dibandingkan Premium. Soal harga, Pertamax lebih mahal 2300 perak dibanding Premium. Untuk jumlah liter yang sama, Pertamax lebih panjang jarak tempuhnya, akan tetapi harga yang terpaut tinggi menjadikannya tidak lebih ekonomis dari Premium, itu mungkin yang menjadikannya kurang populer.

Untuk motor dengan perbandingan kompresi mesin 9:1 ke atas disarankan menggunakan Pertamax. Karena Pertamax memiliki titik bakar lebih tinggi dibandingkan Premium, sehingga bahan bakar tidak akan terbakar sebelum piston mencapai TMA (Titik Mati Atas). Terbakarnya bahan bakar sebelum piston mencapai TMA akan membebani putaran mesin. Mesin menderita dorongan balik yang melawan putaran mesin, ini menjadikan motor kehabisan nafas saat putaran tinggi.

Baiklah, mari kita beralih kepada persoalan yang lebih luas dan urgen. Persoalan energi. Kelangkaan energi menjadi isu yang mutakhir saat ini. Di seluruh dunia sedang gencar-gencarnya dilakukan kampanye hemat energi atau energi alternatif pengganti bahan bakar fosil. Produsen-produsen kendaraan ternama juga berlomba-lomba membuat prototipe kendaraan dengan energi tergantikan, solar energy misalnya. Isu kelangkaan energi itu dipicu oleh naiknya harga minyak mentah dipasaran global hingga di atas 100 US$ beberapa waktu lalu. Hingga sekarang negara-negara diseluruh dunia bersiap-siap untuk menghadapi kasus kelangkaan serupa di masa depan.

Di Indonesia sendiri, volume BBM yang disubsidi Negara, terdiri dari: premium, solar dan kerosen mencapai 36.5 juta kiloliter pada tahun 2010. Pada akhir tahun jumlah proyeksinya bertambah menjadi sekitar 39.23 juta kiloliter, dengan selisih harga minyak mentah yang ada dipasaran terhadap harga asumsi APBN-P, kita masih bisa menutupnya. Khusus jumlah premium yang disubsidi untuk kemudian dihabiskan rame-rame oleh pemilik kendaraan bermotor sebesar 21.43 juta kiloliter. Kalau dihitung secara kasar, anggaran subsidi untuk premium sebesar 49.28 triliun! Cukup besar bukan?

Dan, ironisnya para pengguna mobil yang rata-rata golongan menengah ke atas juga ikut menikmati subsidi ini. Padahal, sudah seharusnya subsidi diperuntukkan untuk golongan menengah ke bawah. Dimana, mahalnya biaya transportasi masih juga membebani neraca anggaran dan belanjanya.

Seharusnya hanya transportasi umum yang berhak untuk itu. Sebab, transportasi umum diharapkan dapat menyelesaikan persoalan (baca: mengurangi) padatnya lalu lintas di wilayah urban.

Tidak dapat dipungkiri, menarik subsidi bukanlah kebijakan populis. Akan terjadi gejolak di masyarakat seandainya itu dilakukan oleh pemerintah. Gelombang demonstrasi dan konflik politik akan segera terjadi menyusul pemberlakuan kebijakan itu. Imbasnya, partai politik yang mengusung presiden terpilih akan bangkrut popularitasnya. Saya yakin seribu persen mencabut subsidi BBM tidak akan pernah dilakukan oleh pemerintahan sekarang hingga berakhir masa jabatan.

Dituntut kesadaran dari masyarakat untuk tidak menganggap enteng persoalan subsidi ini. Ya, kita butuh subsidi, tetapi subsidi harus tepat sasaran! Tidak kemudian yang mampu ikut menikmatinya. Dan, sebelum ada formula untuk mengatur itu, mari kita berkaca pada diri sendiri kemudian bertanya: pantaskah aku disubsidi?

~Ato Urroichan~

Jumat, 22 Oktober 2010

"Indahnya" Mabes Gebang Surabaya* (bagian-1)

Ruangan itu terasa pengap. Asap mengepul memenuhi udara. Sedikit mengaburkan pandangan. Mataku agak perih dihantam kepulan asap yang tak bersahabat. Sesosok manusia rintih duduk di sudut ruangan. Kaki kanannya bersila sedangkan kaki kirinya ditegakkan menopang tubuhnya yang lemah. Tangan kirinya mengusap-usap jemari kaki kirinya yang tampak seperti 5 baterai kecil remout control DVD Player yang dijejer di atas lantai. Di hadapannya berdiri tegak Aqua gelas yang isinya tinggal setengah. Namun airnya tidak bening melainkan coklat kehitaman. Berbaring di samping Aqua gelas itu sebungkus rokok Cigarilos yang di atasnya diletakkan korek api gas. Bagi sebagian kaum perokok ini sebuah tanda kesepakatan tak tertulis. Berarti ‘Dilarang meminta sebatang pun rokok ini!’.

Sosok itu menundukkan wajah yang tertutupi rambut ikalnya. Sesekali ia menyeka rambut, memberi kesempatan matanya mengawasi seisi ruangan. Setiap beberapa saat tangan kanannya bergerak ke depan mulutnya, meletakkan sebatang rokok yang diapit telunjuk dan jari tengah di bibirnya. Ujung rokok itu menyala pertanda ia sedang menghisapnya. Beberapa detik berlalu namun asap tidak keluar dari mulut maupun hidungnya. Kuhitung hingga detik ke 20 baru ia mengeluarkan kepulan asap dari mulut yang dibuka lebar sehingga asap rokok membentuk huruf O..o..o.. Sejurus kemudian dijentikkan telunjuknya di atas Aqua gelas untuk menjatuhkan serpihan puntung rokok yang terbakar. Ternyata air coklat kehitaman yang kulihat tadi adalah air asbak yang coklat oleh larutan tembakau. Praktis.

Rupanya dia sumber polusi udara di ruangan ini. “Beliau”, orang-orang di lingkungan ini biasa menjulukinya. Beliau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan kata ganti orang ketiga yang menduduki kasta istimewa. Biasanya orang yang disebut menggunakan kata Beliau adalah orang yang dihormati, disegani karena kebijaksanaannya. Namun aku masih mencari-cari kebijaksanaan dari Beliau yang satu ini. Memandangi fisik dan gerak geriknya mengingatkanku pada Chairil Anwar di masa-masa akhir kehidupannya. Seorang pujangga besar republik ini yang konon meninggal karena penyakit sipilis. Beliau adalah versi tragis Chairil Anwar.

-~o0o~-

Beliau berperawakan sedang. Tingginya tidak lebih dari pohon asam di depan rumahku. Bila anak kecil kelas 6 SD berdiri di atas kursi plastik, hampir sama tinggi dengan pohon itu. Usia Beliau baru seperempat abad tapi tubuhnya seperti nenekku yang diberi ijin hidup di muka bumi ini sudah tiga perempat abad lebih. Bila Beliau tidak memakai baju, rangkanya lebih menonjol dibanding balutan otot tipis yang ditutupi kulit kuning langsat. Mungkin dagingnya habis digerogoti rokok. Saat kulihat kepulan asap putih tebal meluncur deras dari mulut dan hidungnya, seakan-akan darah, daging, dan saripati yang ada di tubuhnya ikut keluar bersama asap.

Walaupun kondisi fisiknya seolah-olah mengenaskan, ternyata ia gesit saat menunggangi sepeda motor. Sedikit agak ngawur memang saat memacu gas Supra X 125 merahnya menyusuri jalanan kota Surabaya mengantarku menuju terminal Bungurasih kemarin pagi. Saat berhenti di lampu merah, sesekali Beliau agak kerepotan menjejakkan kaki kurusnya menahan beban badanku yang berat. Sebenarnya ia memiliki Vespa keluaran tahun 80-an namun sementara ini Beliau kandangkan di kediamannya di Tembelang, Jombang. Daerah yang mengingatkanku pada Ryan sang penjagal yang menghebohkan Indonesia beberapa tahun lalu. Beliau sengaja menggunakan Supra karena Vespa agak merepotkan Beliau. Berat katanya. Apalagi jika bocor di jalan. Mending ditinggal di pinggir jalan daripada dituntun. Dibawa kembali setelah membawa ban serep. Satu hal yang mengesankan bagiku dari Beliau adalah sorot matanya yang tajam. Walau memiliki raut wajah yang syahdu, tatapan tajam Beliau menunjukkan optimisme dalam mengarungi kehidupan yang keras. Matanya seolah-olah berkata, “Kita telah berjuang nak!”

Semakin lama semakin menyesakkan dada udara di ruangan ini. Kipas angin jauh di seberang Beliau dari tadi menggeleng-gelengkan kepalanya seakan bertahlil. Semburan angin kipas hanya menambah sumpek ruangan. Kubuka lebar pintu yang berada di ujung ruangan ini, persis di samping kiri Beliau. Wuuuush.. Udara segar di luar menyerobot masuk bergulat dengan pengapnya udara ruangan yang akhirnya berhasil menghalau asap rokok.

-~oOo~-

Ruangan ini berbentuk segi empat yang luasnya bisa memuat dua buah Daihatsu Hijet keluaran tahun 1984. Langit-langitnya pun sangat tinggi sehingga harus menaiki lemari bila ingin memasang lampu. Di ujung seberang pintu menempel dengan kokoh ke dinding dan lantai sebuah tatakan semen tempat meletakkan kompor dan peralatan dapur. Namun tempat itu beralih fungsi menjadi tempat berjejer semrawut berbagai macam buku. Mulai dari buku tulis, catatan kuliah, catatan hutang, hingga catatan masak memasak. Bagi yang masa kecilnya dilalui dengan tidak bahagia, tersedia berbagai macam komik seperti Doraemon, Naruto, Donal Bebek, hingga komik dengan rating dewasa seperti GTO. Untuk menunjukkan bahwa penghuni ruangan berpendidikan, terserak buku-buku diktat perkuliahan. Semuanya berbau teknik yang tidak aku kenal.

Penghuni ruangan ini juga mempertegas statusnya sebagai mahasiswa agent of change. Sebagai agen perubahan maka cakupan bacaan mereka pun luas. Nutrisi bagi para aktivis aliran kiri ada, tengah tersedia, kanan juga tak ketinggalan. Deretan buku Focault, Marxisme, filsafat Nietsche, Menentang Negara Sekular, Catatan Harian Soe Hok Gie, Pergolakan Pemikiran Islam Ahmad Wahib yang kontroversi itu, dan karya-karya Tan Malaka pun lengkap. Novel mereka juga berbobot. Yang paling komplit adalah Tetralogi Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Toer. Tidak terlihat Harry Potter, juga kisah romantis kaum vampir dalam Twilight saga karya Stephanie Meyer, apalagi roman picisan Agatha Cristie.

Sebagai orang yang dilahirkan dari orang tua beragama di negara yang mengakui campur tangan Tuhan sebagai prinsip dasar negara, mahasiswa di ruangan ini tak mau memiliki citra sebagai atheis walau kadang pemikiran mereka mempertanyakan eksistensi Tuhan. Di era yang dipimpin oleh manusia yang mendewakan politik pencitraan, di antara jajaran buku di ruangan ini terdapat Al-Quran, Ihya ‘Ulumuddin, Surat Yasin dan Tahlil Lengkap, Tuntunan Do’a-do’a Lengkap, Bulughul Marom, hingga Qurotul ‘Uyun. Citra yang ingin ditampilkan adalah agamis dan religius. Bersanding dengan buku-buku kesucian ini setumpuk sajadah. Tentunya aku berharap tumpukan itu digunakan untuk alas sholat bukan alas tidur apalagi keset kaki.

Namun satu buku yang membuat tatapanku terhenti di antara buku-buku tersebut. Sebuah buku kuning tua lusuh karena terjamah tangan-tangan yang membacanya. Kusimpulkan buku inilah yang paling sering dibaca di ruangan ini. Kuambil buku itu. Di sampulnya tertulis dengan tinta hitam pekat. “1001 Cara Mencari Jodoh dan Menaklukkan Calon Mertua”.

Dinding ruangan ini dicat putih susu dihiasi noda-noda olesan yang aku tak ingin noda itu ada di tubuhku. Bekas olesan kotoran hidung, keringat yang sengaja ditempelkan ke dinding untuk mengeringkan badan, tapak kaki kotor setelah menginjak debu di lantai, bekas sundutan rokok, olesan tangan setelah makan, hingga ‘noda’ yang tidak etis diungkap di sini. Untuk menutupi noda-noda itu, sekeliling ruangan ditempel poster berwarna, bergambar tokoh-tokoh pahlawan kemerdekaan negeri ini. Di antara pakaian-pakaian yang tergantung di dinding tertempel Pangeran Diponegoro, Sisingamangaraja, Wage Rudolf Supratman, Cut Nyak Dhien, RA Kartini, Pattimura, Teuku Umar, dan Imam Bonjol. Hanya satu poster hitam putih yang diberi kehormatan dengan diberi bingkai hitam berkaca yakni Bung Karno. Seakan-akan deretan poster di sekeliling dinding menjadi penjaga ruangan ini. Andai poster-poster tersebut bisa hidup seperti dalam cerita Harry Potter, pastilah Bung Karno tersenyum miris kepada penghuni ruangan yang berjiwa nasionalisme ini. Karena penghuni ruangan ini lumayan mengamalkan salah satu pidatonya, JASMERAH. “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”.

Cukup unik hiasan dinding ruangan ini. Biasanya mahasiswa di tempat lain memenuhi dindingnya dengan poster Che Guevara, David Beckham, Tom Cruise, Pamela Anderson, atau Albert Einstein. Bahkan yang umum adalah gambar dua pistor bersilang dihiasi bunga mawar, ditindih dengan tulisan sangat besar dan mencolok: Guns n Roses.

-~o0o~-

Aku yang dari tadi sibuk memperhatikan Beliau di seberangku, mencoba menghilangkan suntuk dengan menghisap sebatang Sampoerna Mild merah favoritku. Kusandarkan tubuhku ke tatakan semen yang menjadi perpustakaan mini ruangan ini. Kaki kuluruskan ke arah kamar mandi yang terletak di seberang tatakan semen. Persis di ujung sebelah kanan tempat Beliau bersemayam. Tidak ada yang istimewa dengan kamar mandi ini. Hanya ada fakta lumrah mengenai disfungsi kamar mandi. Selain menjadi tempat mandi dan buang hajat, kamar mandi adalah tempat yang hening untuk mencari inspirasi. Bisa malaikat yang datang menghembuskan ilham, atau bahkan setan yang membisikkan akal bulusnya. Nah, pihak yang terakhir yang ternyata memiliki kuasa lebih mempengaruhi seorang manusia lemah iman di kamar mandi.

Sudah menjadi rahasia umum bila kamar mandi menjadi tempat banyak lelaki bujang baik jomblo maupun dengan status somebody boyfriend melepaskan status keperjakaan di tangan sendiri. Aku selalu teringat cerita teman kuliahku dulu, Bahrun namanya. Orang Bali keturunan Blitar. Dia pernah memergoki teman kami Kopler yang over percaya diri dan lucu sedang marah-marah sendiri di kamar mandi kosnya di Jakarta. Kopler adalah orang yang sangat terbuka sehingga dia tidak malu bila kebiasaan nyelenehnya diketahui orang lain. Yakni kegiatan intim dengan sabun.

Setiap Kopler mandi pasti melakukan ritual intim ini. Suatu saat selesai melakukannya, dia lupa menyirami cairan yang telah dikeluarkannya sehingga tanpa sengaja dia terpeleset menginjak cairan itu. Gedebuk! Bunyi keras terdengar dari kamar mandi. Sesaat kemudian dengan bahasa Betawi logat Batak Tigor dia memaki-maki dengan suara kencang. Sambil meringis menahan sakit kepalanya terbentur pintu kamar mandi dia teriak, “KAMPRET! Belum jadi anak lu udah mau bunuh gua! Apalagi udah jadi anak lu!” Sejak kejadian itu Kopler sering marah-marah tidak jelas. Selain akibat benturan keras, kami meyimpulkan dia terkena sindrom AIDS: Akibat Intim Dengan Sabun.

Itulah kamar mandi. Namun kamar mandi adalah tempat yang paling baik dari keseluruhan ruangan ini. Lantai, sebagian tembok, dan bak mandi dilapisi keramik abu-abu yang bersih. Ukuran baknya cukup besar. Volumenya memenuhi standar minimal untuk bersuci. Baik untuk berwudhu maupun mandi junub.

-~o0o~-

Setelah menemukan posisi yang enak, sambil menikmati racikan tembakau dan cengkeh rendah TAR khas Sampoerna, kualihkan pandanganku ke seonggok kasur di samping kamar mandi tepat di sebelah kanan Beliau. Tergeletak sebuah kasur kapuk berukuran jumbo berwarna merah. Tanpa kain seprei, telanjang dipeluk lantai keramik coklat cenderung orange. Kasur malang itu tidak terawat tapi multi fungsi. Selalu menjadi tempat tidur, kasur itu sering juga menjadi keset kaki. Juga menjadi lahan kegiatan oles mengoles noda-noda kotoran hidung, minyak sisa makanan, dan lain sebagainya. Kelihatannya kasur ini sudah berabad-abad lamanya tidak pernah dijemur. Entahlah, ada berapa jenis spesies hewan mapun bakteri yang mengais rejeki di kasur itu. Namun yang lebih menarik perhatianku adalah dua sosok anak manusia yang berada di atas kasur itu. Tanpa menghiraukan makhluk hidup di bawahnya, mereka asyik sendiri memetik gitar di tangan masing-masing.

Sosok pertama adalah pria berbadan sedikit gelap, cukup tinggi, kurus namun lebih berisi dibanding Beliau. Rambut tipis klimis, wajah yang melankolis, bila tersenyum sangat manis. Badannya selalu wangi. Kulit sawo matang sangat rapi membungkus tubuhnya. Kontras warna di tangan dan wajahnya merata. Ini menunjukkan ia tahu bagaimana merawat kulitnya. Pasti banyak peralatan kosmetik kaum metroseksual yang dipakainya. Sinar wajahnya cerah. Secerah celana panjang coklat muda yang dipakainya. Dari warnanya aku kenal celana itu. Ya, aku tahu. Itu celana khas tipikal PNS. Ia memang seorang pegawai negeri sipil muda di Pemda Jawa Timur.

Ia sungguh khusyuk memainkan gitar akustik hijau tua di pelukannya. Matanya terpejam tapi dahinya sedikit mengkerut. Jemari kirinya sibuk mencari-cari nada melodi yang pas. Mencoba menyelaraskan dengan petikan jemari kanannya. Kusimpulkan ia pemain melodi. Usut punya usut jejak musikalitasnya pernah ditorehkan di masa SMA-nya dengan mendirikan Nahl Band. Diambil dari nama surat dalam Al-quran, surat An-Nahl yang berarti lebah. Bila membawakan sebuah lagu, diharapkan alunan musik yang mereka mainkan akan menyengat laksana lebah jantan mengamuk karena istrinya diganggu. Nomer andalan yang selalu mereka mainkan bila manggung di mana-mana adalah Sahabat Sejati milik Sheila on 7 dan Lutuye punya /rif.

Semakin lama melodi yang dimainkannya menemukan nada yang diinginkan. Aku mengenal melodi itu. Kucoba selami, itu melodi Demi Waktu setelah referen. Tak sampai selesai, secara mengejutkan memasuki melodi Seperti Yang Dulu, Sejauh Mungkin, Laguku, Jika Itu Yang Terbaik, Dengan Nafasmu, dan Di sini Untukmu. Lho, kok Ungu semua? Ya, ia memang penggemar berat Ungu. Apakah memang suka dengan musikalitasnya atau bila menonton konsernya termasuk bagian yang teriak histeris di antara kaum hawa yang tak kuasa atas ketampanan Pasha Ungu. Entahlah. Sesekali ia meloncat ke melodi Akulah Dia dan Mimpi Selamanya andalan dari Drive. Semoga ia tak mengikuti jejak Anji Drive dengan menghamili anak orang sebelum mendapatkan SIM: Surat Izin Menghamili.

Sampai saat ini ia hanya dibolehkan memiliki Surat Izin Mengemudi dari Polres Banyuwangi. Terlihat dari kartu putih berbahan PVC tebal dengan hologram logo Kepolisian Republik Indonesia yang sedikit menyembul dari dompet yang digeletakkan di hadapannya. Pria ini perokok tulen. LA Lights adalah sedotannya. Rokok ini termasuk rumpun dari bangsa Mild. Berbeda dengan rokok sejenis yang selalu memberi embel-embel Mild pada mereknya, LA Lights hadir dengan positioning yang berbeda. Citranya adalah rokok luar negeri punya. High level taste. Begitu istilahnya menurut Hermawan Kertajaya. Arek Suroboyo yang menjadi suhu marketing dunia. Aku pernah beralih ke LA Lights terpengaruh pagawai PNS ini saat berkunjung ke rumahku di Jakarta dua tahun lalu. Cukup lama aku mengkhianati keluarga Sampoerna. Saus dalam racikan tembakau dan cengkeh LA Lights terasa lebih manis. Namun lama kelamaan menghisap, semakin terasa pedas di lidah. Kedengarannya seperti menikmati rujak ya. Silahkan coba sendiri bagi yang penasaran.

-~o0o~-

Kita tinggalkan sang Ungu Clikers. Beralih pada makhluk satunya juga di atas singgasana kasur butut merah. Kesan pertama laki-laki ini adalah anak ingusan. Terlihat dari tampangnya yang jauh lebih muda dari usianya. Karena tak ingin dikesankan sebagai anak kecil, ia bersikap seakan-akan memberontak. Di masa SMA ia dikenal termasuk gerombolan escapist. Pokoknya lawan! Aturan diakali. Semua tindak tanduknya bermuara pada sebuah keinginan citra diri yang berbeda. ‘Aku bukan anak kecil lagi’. Itulah pesan moral yang ingin disampaikannya.

Kini, ia memang berbeda. Lebih gemuk. Cuma itu saja. Selebihnya tetap sama. Bahkan tersingkap sebuah kenyataan bahwa ia manusia lugu. Begitulah teman-teman menangkap jati diri sebenarnya sarjana lulusan Politeknik Negeri Jember ini. Saking lugunya, berbulan-bulan ia dikerjai oleh penghuni ruangan ini. Di lingkungan ini ada seseorang yang secara fisik merupakan kebalikan dari sarjana politeknik ini. Usianya lebih muda dua tahun darinya, tapi tampangnya seboros mobil Toyota Hartop. Kelihatan tua. Sagung namanya. Saat kedua insan ini bertemu, oleh penghuni ruangan ini Sagung diperkenalkan sebagai kakak kelas yang usianya lima tahun lebih tua. Sebagai seorang anak yang mengamalkan seperlima dari kitab Ta’lim Muta’allim, sang lugu sontak memanggil Sagung dengan sapaan ‘Mas’. Berbulan-bulan kejadian ini berlanjut tanpa disadarinya. Sagung pun menikmati kehormatan langka ini. Mungkin kejadian ini hanya sekali dalam sejarah hidupnya. Disapa oleh seseorang yang sejatinya adalah kakak kelasnya dengan hormat. Sesekali bila berpapasan, sang lugu dari Jember sedikit membungkuk, pasang senyum selebar-lebarnya sambil menyapa, “Monggo mas..”. Tapi sekarang ia sudah tahu bahwa Sagung itu adik kelas. Sial. Tapi ia hanya bisa memaki keluguan yang entah disadarinya atau tidak.

Ia juga pecinta tembakau. Bila perokok lain membawa sebungkus rokok, ia bawa dua. Yang pertama adalah Djarum Black menthol. Rokok mentol awalnya diperuntukkan bagi kaum hawa karena saat menghisap rokok ini, kesegaran mint akan terasa di mulut, hidung, dan tenggorokan. Ya, ia hanya menghisap rokok ini saat radang tenggorokan menghinggapinya. “Segerr, mak cesss…nang tenggorokan,” katanya dalam logat Suroboyoan. Namun jika tenggorokannya sudah mau diajak kompromi, sedotannya adalah Gudang Garam Internasional. ‘Pria Punya Selera’. Begitu slogan rokok ini. Sangat akrab di telinga kita selama satu bulan penuh saat Piala Dunia 2010 lalu. Lagi-lagi menurut analisa Hermawan Kartajaya yang kubaca di koran Jawa Pos beberapa tahun lalu, slogan ‘Pria Punya Selera’ memberikan positioning sebagai rokok laki-laki macho. Jadi, diharapkan para lelaki perokok akan beralih ke Gudang Garam Internasional karena citra diri mereka akan kuat.

Macho bisa ditafsirkan gagah, gentle. Cocok bagi kaum metroseksual di ibukota. Tapi bagi para petani ataupun kuli bangunan, untuk terlihat gagah tak perlu merokok Inter. Gudang Garam Surya atau Djarum Super sudah cukup. Toh tubuh mereka sudah berotot. Bahkan rokok klobot atau tingwe (nglinting dhewe)-pun oke. Nah, entah termakan slogan ‘Pria Punya Selera’ karena keluguannya atau memang sudah cocok dengan cita rasanya, perantau asal Jember ini menyerahkan nasib paru-paru dan jantungnya pada Gudang Garam Internasional. Sebuah kebetulan. Dengan mengantongi sebungkus Inter ke mana-mana baginya sudah cukup mensyi’arkan bahwa: Aku pria dewasa bung!

Kampanye sebagai lelaki pejantan tangguh dewasa ini sudah lama dilakukannya. Aku tidak mengetahui tingkat keberhasilannya sudah berapa persen. Jurus mutakhir yang kudengar dilancarkannya, ia tidak mau lagi dipanggil dengan nama sesuai ijazah pesantrennya: Dita. Ia hanya akan menoleh dan meladeni bila disapa dengan nama: Dika. Bandingkan antara Dita dengan Dika, mana yang lebih macho? Sepertinya sumber masalah keluguan ini adalah nama. Kata orang kalo memberi nama anak jangan keberatan, tapi jangan pula asal-asalan. Nama adalah do’a. Begitu kata guru agamaku dulu. Nama yang dipakai sebagai akun Facebook-nya juga sangar. ‘Saudara Dika Politikus’. Tapi sayang politisi negeri ini belum dewasa. Tak perlu kujelaskan betapa kekanak-kanakannya anggota DPR. Sudah tahu sama tahu. Wah, salah nama lagi nih.

Malam itu Saudara Dika Politikus tidak mau terpengaruh sang Ungu Clickers. Terlalu lembek menurutnya. Kurang jantan. Sesuai dengan wajah melankolis yang sedang memainkannya sekarang. Dengan mimik wajah serius, diusahakan sedewasa dan seoriental mungkin, Dika memainkan gitar akustik coklat tua di tangannya. Dengan posisi tidur, coba. Keren. Lagu yang dibawakannya kukenal milik Red Hot Chili Peppers. Benar-benar selera musik yang dewasa. Setidaknya menurutnya. Aku tidak hapal liriknya. Hanya potongan akhir lagu itu mungkin. Ning..ning.. nong..nong.. ning..ning.. nong..nong.. neng..nong.. begitu kira-kira yang mampu kuingat.

Perpaduan musik yang tidak enak didengar bagiku. RHCP versus Ungu. Sedangkan di sudut ruangan Beliau asyik bas..bus..bas..bus.. saja dari tadi. Setengah mati mencoba mengeluarkan asap rokok dari mulutnya dengan bentuk kotak, baik itu bujur sangkar, persegi panjang, maupun jajaran genjang. Dasar koplak. Kumatikan Sampoerna Mild yang baru setengah batang kuhisap. Kuraih gitar akustik di samping kananku. Di ruangan ini ada tiga gitar dan beberapa perkusi. Semuanya adalah peralatan teater Beliau yang memang aktivis teater kampus. Motonya mantap. ‘Jangan sampai kuliah mengganggu teater’.

-~o0o~-

Bangkit menenteng gitar akustik coklat muda, aku mengambil posisi di sudut kasur. Dika kupaksa bangun untuk memberi ruang kepadaku. Kini di atas kasur duduk bersemayam Ungu Clickers, Saudara Dika Politikus, dan aku. Masing-masing dengan gitar akustik di tangan layaknya tiga orang tentara yang sedang menguji senapan serbu masing-masing di hamparan gurun seperti dalam film The Hurt Locker, pemenang Best Picture dalam ajang Academy Award bulan Maret lalu. Ungu Clickers membidik sasaran dengan senapan M-16 buatan Amerika Serikat. Ringan dan akurasinya tajam. Namun senjata ini rewel jika kena air atau pasir. Gampang macet. Letusan terdengar, peluru melesat disertai asap tipis. Dari alat ukur mutakhir menunjukkan daya jelajah tembakan senjata ini 550 meter.

Kini giliran Dika menembak. Ia memilih menggunakan AK-47 buatan Uni Soviet (sekarang Rusia). Lebih berat namun akurasi agak lemah. Senjata ini menjadi favorit para anggota GAM termasuk teroris di negeri ini karena bandel dan mudah perawatannya. Senapan ditembakkan. Peluru menembus jarak 400 meter. Saatnya tiba giliranku. Aku mencintai produk dalam negeri. Aku bangga menjadi orang Indonesia. Karena itu aku menggunakan senapan SS-2 buatan PT.PINDAD. Senapan ini melesatkan pelurunya dengan sistem piston. Memang sengaja diciptakan mengambil perpaduan M-16 dan AK-47. Bahannya ringan, akurasi tajam, dan bandel. Teruji setelah dicoba dimasukkan ke air dan pasir berkali-kali, tidak macet. Didesain menyesuaikan dengan postur tubuh orang Indonesia. Kuambil posisi menembak. Memang nyaman. Dess...melesat jauh. Alat ukur memberitahukan keunggulan senapan serbu ciptaan anak bangsa ini. 600 meter!

-~o0o~-

Saatnya mengambil alih keadaan. Jam session mengalir saja waktu itu. Aku yang masih amatiran hanya bisa genjreng-genjreng. Lagu-lagu paling gres banyak yang tidak kuketahui chord-nya. Hanya Ya Sudahlah dari Bondan Prakoso & Fade2Black yang bisa kumainkan. Itupun diberitahu Dika beberapa waktu sebelumnya. Hanya satu lagu yang kuhapal penuh musiknya. Single PADI yang merajai selama hampir 2 tahun di MTV Ampuh saat aku SMA dulu. Kumulai dengan intro. Mahadewi. Secara otomatis Ungu Clickers memainkan melodi seakan-akan sedang menembakkan M-16-nya yang ringan, pas untuk melodi. Dika mengikuti dengan betotan basnya. Seandainya yang dipegangnya gitar bas, cocok seperti AK-47 yang sedikit berat. Bagiku gitar bas terkesan berat. Sesuai bunyi yang dihasilkannya. Dem..dem..dem.. Praktis aku merambah posisi rhytm. Cuma hmm..hmm..hmm..yang keluar dari mulutku. Aku tidak hapal liriknya. Tapi lagu dapat diselesaikan dengan baik.

Usai Mahadewi, kualihkan dengan Balikin milik Slank. Ungu Clickers tetap tidak mau jauh-jauh dari Ungu. Okelah, aku manut. Tapi hanya lagu lama Ungu yang kutahu dan kuncinya memang sederhana, Jika Itu Yang Terbaik. Tanpa dikomando, Ungu Clickers mengalihkan ke intro O..o..o.. punya GIGI. Aku request lagu Damainya Cinta, kemudian berlanjut ke Ku Ingin, masih dari GIGI. Tidak biasanya Dika tidak memberontak. Lagu-lagu seleranya agak asing bagiku. Tapi saat ini ia banyak diam, namun betotannya masih baik. Kulirik jam di telepon selularku. Sudah jam 21.30. Pantas saja Dika loyo. Baterainya sudah lowbat. Dika punya kebiasaan tidur jam 22.00. Pengaturan istirahat tubuhnya sudah sistematis. Bila jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, mekanisme tubuhnya akan shut down secara otomatis. Tidak pandang tempat apalagi bulu. Terlebih sekarang sedang di atas kasur. Pas. Tapi anehnya mekanisme on tidak diatur secara otomatis. Kadang sebelum subuh, lain waktu pas adzan subuh ia bangun. Namun lebih sering molor. Mungkin sugesti anak dewasa tertancap begitu dalam di alam bawah sadarnya sehingga dalam mimpi ia benar-benar Dika sang politikus. Dika anak dewasa dalam mimpinya. Untuk menghormatinya kumainkan tembang bule andalanku. I’m Yours dari Jason Mraz sebagai penutup.

-~o0o~-

Sejatinya malam itu kami akan merekam jam session dengan webcam laptop Dika. Dengan aktor utamanya adalah Beliau. Kami mendaulat Beliau sebagai penggebuk drummer. Eh salah, penggebuk drum. Walaupun tidak ada perangkat drum, benda apapun di ruangan itu bisa digunakan menggantikan drum. Tersedia galon, perkusi, kardus, kotak laptop dan lain sebagainya. Mungkin para anggota Jam’iyyah Facebook-iyyah sempat menyaksikan ketangguhan Beliau dalam memainkan drum beberapa waktu lalu. Dengan latar belakang kipas angin yang menggeleng-gelengkan kepalanya menyaksikan atraksi Beliau: menggebuk gitar. Dahsyat. Sebuah tindakan pendzoliman alat musik!

Video tersebut mendapatkan komentar sangat banyak. Ada yang kagum namun banyak juga yang takjub. Video yang menggegerkan jagat Facebook ini adalah ulah Dika. Tanpa restu dari Beliau, Dika meng-upload-nya. Sontak ini membuat Beliau berang. Sampai-sampai Dika tidak disapa bahkan dianggap tidak ada oleh Beliau selama 3 hari! Kejam dan tragis. Makanya ketika kami ajak rekaman lagi Beliau menolak dengan tegas. “Malu awak,” katanya.


bersambung....



-~ J.J. Ahmad ~-
Blitar, 23.09.2010

*) Mabes merupakan kos-kosan unik yang dihuni 3 orang alumni SMA DU2 BPPT Jombang angkatan 6 (2002) yang nyentrik. Tempat ini menjadi posko dan destinasi wajib alumni angkatan 4, 5, 6, 7, 8 dan masyarakat DU2 Community pada umumnya bila berkunjung ke Surabaya. Berlokasi di Gebang Kidul No.54 Surabaya (di seputar kampus ITS)


















Momen langka di ruangan ini dikunjungi 3 gadis Mutiara Timur, hasil konspirasi penduduk Mabes

Kamis, 21 Oktober 2010

Saya Hanya Ingin Menjadi Manusia

Tak seperti biasanya, pagi itu perjalanan saya dari kos menuju kampus I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melewati rute berbeda. Jalan kaki tentunya. Bukan karena alasan kesehatan, melainkan karena saya tidak punya sepeda motor. Jalur yang saya lalui adalah menyusuri lembah di tepi danau Situ Gintung yang kering kerontang akibat jebol 1 tahun lalu. Melewati gerbang utama gedung Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) yang baru, di sebelah utara kompleks Sekolah Pasca Sarjana. Jalur ini saya pilih karena di tepi jalan masih ditumbuhi pepohonan yang sangat rindang. Biasanya saya berjalan melewati depan atau barat gedung FKIK yang lebih gersang.

Pagi itu saya memang sedikit terlambat berangkat sehingga matahari mendahului saya bertengger di cakrawala timur. Jam 7.15, saya melirik jam tangan pemberian ayah sejak tahun 2004. Hmmm, terik matahari sudah panas. Bukannya saya tak suka sinar ultra violet yang Allah ciptakan, tapi akhir-akhir ini sepagi ini sengatan sinarnya cukup perih di kulit. Sudahlah kulit saya gelap, cepat menyerap panas pula.

Jalan ini melintang dari timur ke barat. Jadi, bila saya menuju kampus I yang berada di barat, perjalanan akan membelakangi matahari. Berbeda dengan para gadis yang saya temui di sepanjang jalan ini, paras ayu mereka cerah merekah memberi semangat pagi kepada saya. Mereka adalah para mahasiswi Fakultas Kedokteran yang hendak menghilangkan dahaga ilmu pengetahuan hari itu. Perjalanan mereka justru menantang matahari. Ada yang berjalan kaki, namun ada juga yang membawa sepeda tapi dituntun, tidak dinaiki. Aneh. Terik mentari pagi tidak melunturkan semangat uthlub al-‘ilma min al-mahdi ila al-mahdi dalam jiwa mereka, justru menginjeksi ghiroh para gadis ini. Jika mereka menyusuri lembah ini menurun menantang matahari, maka saya mendaki membelakangi mengacuhkan sinarnya.

Jalan yang mendaki secara otomatis memaksa saya melangkahkan kaki dengan lambat. Ini memberi saya kesempatan memandangi wajah mereka agak lama. Menarik. Sungguh luar biasa kemahakuasaan Allah menciptakan wajah-wajah ini. Ini adalah wajah-wajah calon dokter negeri Indonesia. Wajah-wajah calon apoteker. Wajah-wajah garda terdepan penanggung jawab kualitas kesehatan 200 juta manusia di seluruh nusantara. Wajah-wajah ahli kesehatan yang mumpuni, yang menjadi khalifah di muka bumi ini hanya mengharap ridho-Nya, tidak lebih dari itu. Wajah-wajah dokter masa depan yang mau mendengarkan curhatan pasiennya. Wajah-wajah apoteker yang memberikan racikan obat yang benar. Wajah-wajah pengelola rumah sakit handal yang memberikan pelayanan kesehatan prima kepada semua pasien dengan adil tidak pilih kasih. Bahkan wajah-wajah calon menteri kesehatan yang memperhatikan kesehatan rakyat Indonesia. Tidak ada lagi alasan untuk tidak menyehatkan anak negeri ini. Bebas dari busung lapar. Kesehatan gratis untuk rakyat miskin. Tentunya ini sekedar harapan yang layak untuk saya mohonkan kepada-Nya, agar wajah-wajah yang saya tatap ini bukan wajah-wajah dokter malpraktek. Bukan wajah-wajah perawat sembrono. Bukan wajah-wajah apoteker yang tidak becus. Bukan wajah-wajah tenaga medis koruptif. Bukan wajah-wajah menteri kesehatan dan pegawai Kementrian Kesehatan yang berbudaya korupsi, menggunakan anggaran negara hanya untuk program-program yang jauh dari menyehatkan rakyat. Bukan wajah-wajah ahli kesehatan yang hanya memilih berprofesi di bidang ini untuk sekedar gengsi, tinggi derajat, dan kesombongan semata.

Ya, gengsi dan harapan derajat yang tinggi adalah pikiran saya dulu di masa akhir SMA. Seperti siswa pada umumnya bingung menentukan kuliah di mana, jurusan apa, bidang apa, dan lain sebagainya. Segala kebingungan itu hanya bermuara pada ingin menjadi apa saya nanti. Ternyata Allah menunjukkan jalan lain karena niat yang tidak benar ingin kuliah di FK UNAIR dengan tidak meluluskan saya kuliah di sana. Walaupun di tahun berikutnya saya diterima di Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR, namun saya tolak karena saya lebih memilih hijrah ke UIN Jakarta hanya karena UIN Jakarta bukan IAIN lagi. Ini juga urusan gengsi. Bagi saya dulu gengsi lulusan SMA Unggulan DU2 BPPT yang mayoritas kuliah di universitas harus kuliah di institut agama.

Bukan cerita masa lalu yang ingin kusampaikan di sini, namun esensi ‘menjadi apa’ yang saya pikirkan sepanjang jalan menatap wajah-wajah mahasiswi kedokteran ini. Sebuah refleksi kehidupan dari wajah-wajah ini yang mendadak menjadi cermin pada kehidupan kita, terutama saya.

“Adalah”, “menjadi”, “to be”, “kun” –begitu pentingnya bagi manusia, juga bagi saya sendiri. Sewindu sudah berproses hanya bergelut dengan masalah eksistensi diri yang malah merepotkan. Mungkin di usia senja saya kelak, semua hal eksistensialisme ini terasa menggelikan. Belajar dari Cak Nun, almarhum Cak Nur, dan almarhum Gus Dur, akhirnya saya menemukan bahwa padanan “menjadi” itu ya “manusia”. Menjadi manusia. Dan ternyata itu susahnya bukan main.

Bukan menjadi dokter, bukan menjadi pengusaha, bukan menjadi pemuka agama, bukan menjadi astronot, bukan menjadi politisi, bukan menjadi pejabat, bukan menjadi pengacara, bukan menjadi artis, bukan menjadi seniman, bukan menjadi penulis, bukan menjadi musisi, bukan menjadi ini, itu, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.

Saya hanya ingin menjadi manusia. Bebas dari label-label, formalitas status, profesi, atau apapun. Manusia lengkap dengan kemanusiaannya. Manusiawi. Humanis. Memandang manusia karena dia manusia. Bukan hewan, dewa, malaikat, apalagi Tuhan. Tak luput dari segudang kesalahan sebagai manusia.

Jadilah dokter yang memanusiakan manusia. Jadilah politisi yang manusiawi. Jadilah pengusaha, pemuka agama, polisi, tentara, seniman, pejabat yang humanis. Tidak lupa bahwa kita sebenarnya adalah manusia. Jadilah apapun. Jadilah manusia. Makhluk yang tidak bisa hidup tanpa Tuhan.

Perjalanan saya tiba di ujung jalan ini. Bertemu sebuah pertigaan. Saatnya berbelok ke kanan. Bertemu dengan ragam wajah lain. Wajah manusia.

-~ J.J. Ahmad ~-
Ciputat, 20.10.2010

Rabu, 12 Mei 2010

Pasar Bebas (Bebas buka lapak dimana saja)

Meninggalkan sejenak isu terlibatnya seorang jenderal polisi dalam makelar kasus, saya ingin mengajak kita semua untuk sejenak mengalihkan kesadaran pada pasar bebas yang baru-baru ini diberlakukan antara negara-negara ASEAN dengan Cina. Kejadian ini sempat membuat panas suhu politik dalam negeri. Kalangan elit yang menolak perdagangan bebas bersama mahasiswa, pengusaha kecil dan buruh saling beradu argumen dengan pemerintah dan para pendukung pasar bebas. Demo yang makin sering digelar di pusat dan daerah, juga acara talkshow tv yang membicarakan pasar bebas dapat dengan jelas memperlihatkan kepada kita bahwa ini adalah persoalan serius. Pihak yang mendukung pasar bebas berdalih bahwa ini adalah kesempatan emas bagi pengusaha dalam negeri untuk meningkatkan daya saing di pasar global. Sedangkan pihak yang menentang pasar bebas berpendapat bahwa pengusaha kita belum siap dalam banyak hal, alih-alih akan meningkatkan daya saing, pengusaha kita akan banyak yang gulung tikar, pengangguran akan semakin meningkat. Tapi, perdebatan itu segera berakhir karena bersamaan dengan kasus Bank Century yang semakin dekat dengan Rapat Paripurna DPR. Dengan segera pula panggung debat pindah ke diskusi-diskusi kecil di kampus dan warung kopi.

Tidak ada seorangpun yang mampu meramalkan dan menjamin ramalannya akan terjadi. Pertanyaan apakah pasar bebas akan mampu meningkatkan, atau malah, menurunkan daya saing produk dalam negeri, tentu tidak dapat kita generalisir untuk semua sektor produksi. Yang jelas, diberlakukannya pasar bebas berarti seperti tidak ada batas antar negara dalam hal perdagangan. Inilah fenomena yang sering kita dengar sebagai borderless market. Siapapun bisa menjual dagangannya dimana saja tanpa terbebani biaya ekspor impor. Ini mampu menegangkan persaingan di negara tujuan.

Liberalisme selalu akan menyebabkan terjadinya korban bagi pengusaha kecil juga bukan ramalan yang tanpa dapat kita perhitungkan. Korban pengusaha kecil akan bertambah-tambah dengan adanya permainan pasar tidak sehat, yang, tentu saja oleh pengusaha besar. Dengan modal besar, produsen asal luar negeri akan dengan mudah mempermainkan pasaran, mempermainkan harga, mengendalikan tren produk dan banyak modus lagi untuk mematikan produsen dalam negeri. Dan, bagaimana pula kalau hal itu diperparah dengan penyelenggaraan pemerintahan yang korup, kita tidak akan mampu membayangkan dampaknya.

Jika produk-produk luar negeri mulai membanjiri pasar dalam negeri nantinya, sepertinya pengusaha kecil hanya bisa bertahan di balik undang-undang standar dalam negeri untuk barang asal luar negeri. undang-undang inilah yang selama ini ditawarkan pemerintah melindungi pengusaha kecil kita. Mengenai efektifitasnya akan kita buktikan nanti.

Untuk mengendalikan produk-produk asal luar negeri yang akan membanjiri pasar nasional segera setelah diberlakukannya pasar bebas ASEAN-Cina, kita membutuhkan sebuah pertahanan yang kokoh. Membayangkan akan terjadi perang, kita membutuhkan pertahanan di garis depan perjuangan. Begitu pula dengan perang produk, kita membutuhkan pertahanan yang kuat, bukan di pelabuhan tempat produk asal luar negeri dibongkar, akan tetapi di dalam ruang kesadaran kita. Ini menjadi beban kita semua sebagai anak bangsa. Bukan hanya kementerian terkait saja, akan tetapi setiap individu yang sadar akan dampak pasar bebas terhadap industri kita yang belum juga mapan ini, untuk segera mengkhotbahkan: ”Gunakan Barang Produksi Dalam Negeri”. Saya kira hanya cara itu yang paling masuk akal saat ini. Bukankah dulu kita mampu mengusir penjajah dari negeri ini? Saatnya Nasionalisme di dada kita yang bicara!

~Ato Urroichan~