Jumat, 22 Oktober 2010

"Indahnya" Mabes Gebang Surabaya* (bagian-1)

Ruangan itu terasa pengap. Asap mengepul memenuhi udara. Sedikit mengaburkan pandangan. Mataku agak perih dihantam kepulan asap yang tak bersahabat. Sesosok manusia rintih duduk di sudut ruangan. Kaki kanannya bersila sedangkan kaki kirinya ditegakkan menopang tubuhnya yang lemah. Tangan kirinya mengusap-usap jemari kaki kirinya yang tampak seperti 5 baterai kecil remout control DVD Player yang dijejer di atas lantai. Di hadapannya berdiri tegak Aqua gelas yang isinya tinggal setengah. Namun airnya tidak bening melainkan coklat kehitaman. Berbaring di samping Aqua gelas itu sebungkus rokok Cigarilos yang di atasnya diletakkan korek api gas. Bagi sebagian kaum perokok ini sebuah tanda kesepakatan tak tertulis. Berarti ‘Dilarang meminta sebatang pun rokok ini!’.

Sosok itu menundukkan wajah yang tertutupi rambut ikalnya. Sesekali ia menyeka rambut, memberi kesempatan matanya mengawasi seisi ruangan. Setiap beberapa saat tangan kanannya bergerak ke depan mulutnya, meletakkan sebatang rokok yang diapit telunjuk dan jari tengah di bibirnya. Ujung rokok itu menyala pertanda ia sedang menghisapnya. Beberapa detik berlalu namun asap tidak keluar dari mulut maupun hidungnya. Kuhitung hingga detik ke 20 baru ia mengeluarkan kepulan asap dari mulut yang dibuka lebar sehingga asap rokok membentuk huruf O..o..o.. Sejurus kemudian dijentikkan telunjuknya di atas Aqua gelas untuk menjatuhkan serpihan puntung rokok yang terbakar. Ternyata air coklat kehitaman yang kulihat tadi adalah air asbak yang coklat oleh larutan tembakau. Praktis.

Rupanya dia sumber polusi udara di ruangan ini. “Beliau”, orang-orang di lingkungan ini biasa menjulukinya. Beliau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan kata ganti orang ketiga yang menduduki kasta istimewa. Biasanya orang yang disebut menggunakan kata Beliau adalah orang yang dihormati, disegani karena kebijaksanaannya. Namun aku masih mencari-cari kebijaksanaan dari Beliau yang satu ini. Memandangi fisik dan gerak geriknya mengingatkanku pada Chairil Anwar di masa-masa akhir kehidupannya. Seorang pujangga besar republik ini yang konon meninggal karena penyakit sipilis. Beliau adalah versi tragis Chairil Anwar.

-~o0o~-

Beliau berperawakan sedang. Tingginya tidak lebih dari pohon asam di depan rumahku. Bila anak kecil kelas 6 SD berdiri di atas kursi plastik, hampir sama tinggi dengan pohon itu. Usia Beliau baru seperempat abad tapi tubuhnya seperti nenekku yang diberi ijin hidup di muka bumi ini sudah tiga perempat abad lebih. Bila Beliau tidak memakai baju, rangkanya lebih menonjol dibanding balutan otot tipis yang ditutupi kulit kuning langsat. Mungkin dagingnya habis digerogoti rokok. Saat kulihat kepulan asap putih tebal meluncur deras dari mulut dan hidungnya, seakan-akan darah, daging, dan saripati yang ada di tubuhnya ikut keluar bersama asap.

Walaupun kondisi fisiknya seolah-olah mengenaskan, ternyata ia gesit saat menunggangi sepeda motor. Sedikit agak ngawur memang saat memacu gas Supra X 125 merahnya menyusuri jalanan kota Surabaya mengantarku menuju terminal Bungurasih kemarin pagi. Saat berhenti di lampu merah, sesekali Beliau agak kerepotan menjejakkan kaki kurusnya menahan beban badanku yang berat. Sebenarnya ia memiliki Vespa keluaran tahun 80-an namun sementara ini Beliau kandangkan di kediamannya di Tembelang, Jombang. Daerah yang mengingatkanku pada Ryan sang penjagal yang menghebohkan Indonesia beberapa tahun lalu. Beliau sengaja menggunakan Supra karena Vespa agak merepotkan Beliau. Berat katanya. Apalagi jika bocor di jalan. Mending ditinggal di pinggir jalan daripada dituntun. Dibawa kembali setelah membawa ban serep. Satu hal yang mengesankan bagiku dari Beliau adalah sorot matanya yang tajam. Walau memiliki raut wajah yang syahdu, tatapan tajam Beliau menunjukkan optimisme dalam mengarungi kehidupan yang keras. Matanya seolah-olah berkata, “Kita telah berjuang nak!”

Semakin lama semakin menyesakkan dada udara di ruangan ini. Kipas angin jauh di seberang Beliau dari tadi menggeleng-gelengkan kepalanya seakan bertahlil. Semburan angin kipas hanya menambah sumpek ruangan. Kubuka lebar pintu yang berada di ujung ruangan ini, persis di samping kiri Beliau. Wuuuush.. Udara segar di luar menyerobot masuk bergulat dengan pengapnya udara ruangan yang akhirnya berhasil menghalau asap rokok.

-~oOo~-

Ruangan ini berbentuk segi empat yang luasnya bisa memuat dua buah Daihatsu Hijet keluaran tahun 1984. Langit-langitnya pun sangat tinggi sehingga harus menaiki lemari bila ingin memasang lampu. Di ujung seberang pintu menempel dengan kokoh ke dinding dan lantai sebuah tatakan semen tempat meletakkan kompor dan peralatan dapur. Namun tempat itu beralih fungsi menjadi tempat berjejer semrawut berbagai macam buku. Mulai dari buku tulis, catatan kuliah, catatan hutang, hingga catatan masak memasak. Bagi yang masa kecilnya dilalui dengan tidak bahagia, tersedia berbagai macam komik seperti Doraemon, Naruto, Donal Bebek, hingga komik dengan rating dewasa seperti GTO. Untuk menunjukkan bahwa penghuni ruangan berpendidikan, terserak buku-buku diktat perkuliahan. Semuanya berbau teknik yang tidak aku kenal.

Penghuni ruangan ini juga mempertegas statusnya sebagai mahasiswa agent of change. Sebagai agen perubahan maka cakupan bacaan mereka pun luas. Nutrisi bagi para aktivis aliran kiri ada, tengah tersedia, kanan juga tak ketinggalan. Deretan buku Focault, Marxisme, filsafat Nietsche, Menentang Negara Sekular, Catatan Harian Soe Hok Gie, Pergolakan Pemikiran Islam Ahmad Wahib yang kontroversi itu, dan karya-karya Tan Malaka pun lengkap. Novel mereka juga berbobot. Yang paling komplit adalah Tetralogi Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Toer. Tidak terlihat Harry Potter, juga kisah romantis kaum vampir dalam Twilight saga karya Stephanie Meyer, apalagi roman picisan Agatha Cristie.

Sebagai orang yang dilahirkan dari orang tua beragama di negara yang mengakui campur tangan Tuhan sebagai prinsip dasar negara, mahasiswa di ruangan ini tak mau memiliki citra sebagai atheis walau kadang pemikiran mereka mempertanyakan eksistensi Tuhan. Di era yang dipimpin oleh manusia yang mendewakan politik pencitraan, di antara jajaran buku di ruangan ini terdapat Al-Quran, Ihya ‘Ulumuddin, Surat Yasin dan Tahlil Lengkap, Tuntunan Do’a-do’a Lengkap, Bulughul Marom, hingga Qurotul ‘Uyun. Citra yang ingin ditampilkan adalah agamis dan religius. Bersanding dengan buku-buku kesucian ini setumpuk sajadah. Tentunya aku berharap tumpukan itu digunakan untuk alas sholat bukan alas tidur apalagi keset kaki.

Namun satu buku yang membuat tatapanku terhenti di antara buku-buku tersebut. Sebuah buku kuning tua lusuh karena terjamah tangan-tangan yang membacanya. Kusimpulkan buku inilah yang paling sering dibaca di ruangan ini. Kuambil buku itu. Di sampulnya tertulis dengan tinta hitam pekat. “1001 Cara Mencari Jodoh dan Menaklukkan Calon Mertua”.

Dinding ruangan ini dicat putih susu dihiasi noda-noda olesan yang aku tak ingin noda itu ada di tubuhku. Bekas olesan kotoran hidung, keringat yang sengaja ditempelkan ke dinding untuk mengeringkan badan, tapak kaki kotor setelah menginjak debu di lantai, bekas sundutan rokok, olesan tangan setelah makan, hingga ‘noda’ yang tidak etis diungkap di sini. Untuk menutupi noda-noda itu, sekeliling ruangan ditempel poster berwarna, bergambar tokoh-tokoh pahlawan kemerdekaan negeri ini. Di antara pakaian-pakaian yang tergantung di dinding tertempel Pangeran Diponegoro, Sisingamangaraja, Wage Rudolf Supratman, Cut Nyak Dhien, RA Kartini, Pattimura, Teuku Umar, dan Imam Bonjol. Hanya satu poster hitam putih yang diberi kehormatan dengan diberi bingkai hitam berkaca yakni Bung Karno. Seakan-akan deretan poster di sekeliling dinding menjadi penjaga ruangan ini. Andai poster-poster tersebut bisa hidup seperti dalam cerita Harry Potter, pastilah Bung Karno tersenyum miris kepada penghuni ruangan yang berjiwa nasionalisme ini. Karena penghuni ruangan ini lumayan mengamalkan salah satu pidatonya, JASMERAH. “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”.

Cukup unik hiasan dinding ruangan ini. Biasanya mahasiswa di tempat lain memenuhi dindingnya dengan poster Che Guevara, David Beckham, Tom Cruise, Pamela Anderson, atau Albert Einstein. Bahkan yang umum adalah gambar dua pistor bersilang dihiasi bunga mawar, ditindih dengan tulisan sangat besar dan mencolok: Guns n Roses.

-~o0o~-

Aku yang dari tadi sibuk memperhatikan Beliau di seberangku, mencoba menghilangkan suntuk dengan menghisap sebatang Sampoerna Mild merah favoritku. Kusandarkan tubuhku ke tatakan semen yang menjadi perpustakaan mini ruangan ini. Kaki kuluruskan ke arah kamar mandi yang terletak di seberang tatakan semen. Persis di ujung sebelah kanan tempat Beliau bersemayam. Tidak ada yang istimewa dengan kamar mandi ini. Hanya ada fakta lumrah mengenai disfungsi kamar mandi. Selain menjadi tempat mandi dan buang hajat, kamar mandi adalah tempat yang hening untuk mencari inspirasi. Bisa malaikat yang datang menghembuskan ilham, atau bahkan setan yang membisikkan akal bulusnya. Nah, pihak yang terakhir yang ternyata memiliki kuasa lebih mempengaruhi seorang manusia lemah iman di kamar mandi.

Sudah menjadi rahasia umum bila kamar mandi menjadi tempat banyak lelaki bujang baik jomblo maupun dengan status somebody boyfriend melepaskan status keperjakaan di tangan sendiri. Aku selalu teringat cerita teman kuliahku dulu, Bahrun namanya. Orang Bali keturunan Blitar. Dia pernah memergoki teman kami Kopler yang over percaya diri dan lucu sedang marah-marah sendiri di kamar mandi kosnya di Jakarta. Kopler adalah orang yang sangat terbuka sehingga dia tidak malu bila kebiasaan nyelenehnya diketahui orang lain. Yakni kegiatan intim dengan sabun.

Setiap Kopler mandi pasti melakukan ritual intim ini. Suatu saat selesai melakukannya, dia lupa menyirami cairan yang telah dikeluarkannya sehingga tanpa sengaja dia terpeleset menginjak cairan itu. Gedebuk! Bunyi keras terdengar dari kamar mandi. Sesaat kemudian dengan bahasa Betawi logat Batak Tigor dia memaki-maki dengan suara kencang. Sambil meringis menahan sakit kepalanya terbentur pintu kamar mandi dia teriak, “KAMPRET! Belum jadi anak lu udah mau bunuh gua! Apalagi udah jadi anak lu!” Sejak kejadian itu Kopler sering marah-marah tidak jelas. Selain akibat benturan keras, kami meyimpulkan dia terkena sindrom AIDS: Akibat Intim Dengan Sabun.

Itulah kamar mandi. Namun kamar mandi adalah tempat yang paling baik dari keseluruhan ruangan ini. Lantai, sebagian tembok, dan bak mandi dilapisi keramik abu-abu yang bersih. Ukuran baknya cukup besar. Volumenya memenuhi standar minimal untuk bersuci. Baik untuk berwudhu maupun mandi junub.

-~o0o~-

Setelah menemukan posisi yang enak, sambil menikmati racikan tembakau dan cengkeh rendah TAR khas Sampoerna, kualihkan pandanganku ke seonggok kasur di samping kamar mandi tepat di sebelah kanan Beliau. Tergeletak sebuah kasur kapuk berukuran jumbo berwarna merah. Tanpa kain seprei, telanjang dipeluk lantai keramik coklat cenderung orange. Kasur malang itu tidak terawat tapi multi fungsi. Selalu menjadi tempat tidur, kasur itu sering juga menjadi keset kaki. Juga menjadi lahan kegiatan oles mengoles noda-noda kotoran hidung, minyak sisa makanan, dan lain sebagainya. Kelihatannya kasur ini sudah berabad-abad lamanya tidak pernah dijemur. Entahlah, ada berapa jenis spesies hewan mapun bakteri yang mengais rejeki di kasur itu. Namun yang lebih menarik perhatianku adalah dua sosok anak manusia yang berada di atas kasur itu. Tanpa menghiraukan makhluk hidup di bawahnya, mereka asyik sendiri memetik gitar di tangan masing-masing.

Sosok pertama adalah pria berbadan sedikit gelap, cukup tinggi, kurus namun lebih berisi dibanding Beliau. Rambut tipis klimis, wajah yang melankolis, bila tersenyum sangat manis. Badannya selalu wangi. Kulit sawo matang sangat rapi membungkus tubuhnya. Kontras warna di tangan dan wajahnya merata. Ini menunjukkan ia tahu bagaimana merawat kulitnya. Pasti banyak peralatan kosmetik kaum metroseksual yang dipakainya. Sinar wajahnya cerah. Secerah celana panjang coklat muda yang dipakainya. Dari warnanya aku kenal celana itu. Ya, aku tahu. Itu celana khas tipikal PNS. Ia memang seorang pegawai negeri sipil muda di Pemda Jawa Timur.

Ia sungguh khusyuk memainkan gitar akustik hijau tua di pelukannya. Matanya terpejam tapi dahinya sedikit mengkerut. Jemari kirinya sibuk mencari-cari nada melodi yang pas. Mencoba menyelaraskan dengan petikan jemari kanannya. Kusimpulkan ia pemain melodi. Usut punya usut jejak musikalitasnya pernah ditorehkan di masa SMA-nya dengan mendirikan Nahl Band. Diambil dari nama surat dalam Al-quran, surat An-Nahl yang berarti lebah. Bila membawakan sebuah lagu, diharapkan alunan musik yang mereka mainkan akan menyengat laksana lebah jantan mengamuk karena istrinya diganggu. Nomer andalan yang selalu mereka mainkan bila manggung di mana-mana adalah Sahabat Sejati milik Sheila on 7 dan Lutuye punya /rif.

Semakin lama melodi yang dimainkannya menemukan nada yang diinginkan. Aku mengenal melodi itu. Kucoba selami, itu melodi Demi Waktu setelah referen. Tak sampai selesai, secara mengejutkan memasuki melodi Seperti Yang Dulu, Sejauh Mungkin, Laguku, Jika Itu Yang Terbaik, Dengan Nafasmu, dan Di sini Untukmu. Lho, kok Ungu semua? Ya, ia memang penggemar berat Ungu. Apakah memang suka dengan musikalitasnya atau bila menonton konsernya termasuk bagian yang teriak histeris di antara kaum hawa yang tak kuasa atas ketampanan Pasha Ungu. Entahlah. Sesekali ia meloncat ke melodi Akulah Dia dan Mimpi Selamanya andalan dari Drive. Semoga ia tak mengikuti jejak Anji Drive dengan menghamili anak orang sebelum mendapatkan SIM: Surat Izin Menghamili.

Sampai saat ini ia hanya dibolehkan memiliki Surat Izin Mengemudi dari Polres Banyuwangi. Terlihat dari kartu putih berbahan PVC tebal dengan hologram logo Kepolisian Republik Indonesia yang sedikit menyembul dari dompet yang digeletakkan di hadapannya. Pria ini perokok tulen. LA Lights adalah sedotannya. Rokok ini termasuk rumpun dari bangsa Mild. Berbeda dengan rokok sejenis yang selalu memberi embel-embel Mild pada mereknya, LA Lights hadir dengan positioning yang berbeda. Citranya adalah rokok luar negeri punya. High level taste. Begitu istilahnya menurut Hermawan Kertajaya. Arek Suroboyo yang menjadi suhu marketing dunia. Aku pernah beralih ke LA Lights terpengaruh pagawai PNS ini saat berkunjung ke rumahku di Jakarta dua tahun lalu. Cukup lama aku mengkhianati keluarga Sampoerna. Saus dalam racikan tembakau dan cengkeh LA Lights terasa lebih manis. Namun lama kelamaan menghisap, semakin terasa pedas di lidah. Kedengarannya seperti menikmati rujak ya. Silahkan coba sendiri bagi yang penasaran.

-~o0o~-

Kita tinggalkan sang Ungu Clikers. Beralih pada makhluk satunya juga di atas singgasana kasur butut merah. Kesan pertama laki-laki ini adalah anak ingusan. Terlihat dari tampangnya yang jauh lebih muda dari usianya. Karena tak ingin dikesankan sebagai anak kecil, ia bersikap seakan-akan memberontak. Di masa SMA ia dikenal termasuk gerombolan escapist. Pokoknya lawan! Aturan diakali. Semua tindak tanduknya bermuara pada sebuah keinginan citra diri yang berbeda. ‘Aku bukan anak kecil lagi’. Itulah pesan moral yang ingin disampaikannya.

Kini, ia memang berbeda. Lebih gemuk. Cuma itu saja. Selebihnya tetap sama. Bahkan tersingkap sebuah kenyataan bahwa ia manusia lugu. Begitulah teman-teman menangkap jati diri sebenarnya sarjana lulusan Politeknik Negeri Jember ini. Saking lugunya, berbulan-bulan ia dikerjai oleh penghuni ruangan ini. Di lingkungan ini ada seseorang yang secara fisik merupakan kebalikan dari sarjana politeknik ini. Usianya lebih muda dua tahun darinya, tapi tampangnya seboros mobil Toyota Hartop. Kelihatan tua. Sagung namanya. Saat kedua insan ini bertemu, oleh penghuni ruangan ini Sagung diperkenalkan sebagai kakak kelas yang usianya lima tahun lebih tua. Sebagai seorang anak yang mengamalkan seperlima dari kitab Ta’lim Muta’allim, sang lugu sontak memanggil Sagung dengan sapaan ‘Mas’. Berbulan-bulan kejadian ini berlanjut tanpa disadarinya. Sagung pun menikmati kehormatan langka ini. Mungkin kejadian ini hanya sekali dalam sejarah hidupnya. Disapa oleh seseorang yang sejatinya adalah kakak kelasnya dengan hormat. Sesekali bila berpapasan, sang lugu dari Jember sedikit membungkuk, pasang senyum selebar-lebarnya sambil menyapa, “Monggo mas..”. Tapi sekarang ia sudah tahu bahwa Sagung itu adik kelas. Sial. Tapi ia hanya bisa memaki keluguan yang entah disadarinya atau tidak.

Ia juga pecinta tembakau. Bila perokok lain membawa sebungkus rokok, ia bawa dua. Yang pertama adalah Djarum Black menthol. Rokok mentol awalnya diperuntukkan bagi kaum hawa karena saat menghisap rokok ini, kesegaran mint akan terasa di mulut, hidung, dan tenggorokan. Ya, ia hanya menghisap rokok ini saat radang tenggorokan menghinggapinya. “Segerr, mak cesss…nang tenggorokan,” katanya dalam logat Suroboyoan. Namun jika tenggorokannya sudah mau diajak kompromi, sedotannya adalah Gudang Garam Internasional. ‘Pria Punya Selera’. Begitu slogan rokok ini. Sangat akrab di telinga kita selama satu bulan penuh saat Piala Dunia 2010 lalu. Lagi-lagi menurut analisa Hermawan Kartajaya yang kubaca di koran Jawa Pos beberapa tahun lalu, slogan ‘Pria Punya Selera’ memberikan positioning sebagai rokok laki-laki macho. Jadi, diharapkan para lelaki perokok akan beralih ke Gudang Garam Internasional karena citra diri mereka akan kuat.

Macho bisa ditafsirkan gagah, gentle. Cocok bagi kaum metroseksual di ibukota. Tapi bagi para petani ataupun kuli bangunan, untuk terlihat gagah tak perlu merokok Inter. Gudang Garam Surya atau Djarum Super sudah cukup. Toh tubuh mereka sudah berotot. Bahkan rokok klobot atau tingwe (nglinting dhewe)-pun oke. Nah, entah termakan slogan ‘Pria Punya Selera’ karena keluguannya atau memang sudah cocok dengan cita rasanya, perantau asal Jember ini menyerahkan nasib paru-paru dan jantungnya pada Gudang Garam Internasional. Sebuah kebetulan. Dengan mengantongi sebungkus Inter ke mana-mana baginya sudah cukup mensyi’arkan bahwa: Aku pria dewasa bung!

Kampanye sebagai lelaki pejantan tangguh dewasa ini sudah lama dilakukannya. Aku tidak mengetahui tingkat keberhasilannya sudah berapa persen. Jurus mutakhir yang kudengar dilancarkannya, ia tidak mau lagi dipanggil dengan nama sesuai ijazah pesantrennya: Dita. Ia hanya akan menoleh dan meladeni bila disapa dengan nama: Dika. Bandingkan antara Dita dengan Dika, mana yang lebih macho? Sepertinya sumber masalah keluguan ini adalah nama. Kata orang kalo memberi nama anak jangan keberatan, tapi jangan pula asal-asalan. Nama adalah do’a. Begitu kata guru agamaku dulu. Nama yang dipakai sebagai akun Facebook-nya juga sangar. ‘Saudara Dika Politikus’. Tapi sayang politisi negeri ini belum dewasa. Tak perlu kujelaskan betapa kekanak-kanakannya anggota DPR. Sudah tahu sama tahu. Wah, salah nama lagi nih.

Malam itu Saudara Dika Politikus tidak mau terpengaruh sang Ungu Clickers. Terlalu lembek menurutnya. Kurang jantan. Sesuai dengan wajah melankolis yang sedang memainkannya sekarang. Dengan mimik wajah serius, diusahakan sedewasa dan seoriental mungkin, Dika memainkan gitar akustik coklat tua di tangannya. Dengan posisi tidur, coba. Keren. Lagu yang dibawakannya kukenal milik Red Hot Chili Peppers. Benar-benar selera musik yang dewasa. Setidaknya menurutnya. Aku tidak hapal liriknya. Hanya potongan akhir lagu itu mungkin. Ning..ning.. nong..nong.. ning..ning.. nong..nong.. neng..nong.. begitu kira-kira yang mampu kuingat.

Perpaduan musik yang tidak enak didengar bagiku. RHCP versus Ungu. Sedangkan di sudut ruangan Beliau asyik bas..bus..bas..bus.. saja dari tadi. Setengah mati mencoba mengeluarkan asap rokok dari mulutnya dengan bentuk kotak, baik itu bujur sangkar, persegi panjang, maupun jajaran genjang. Dasar koplak. Kumatikan Sampoerna Mild yang baru setengah batang kuhisap. Kuraih gitar akustik di samping kananku. Di ruangan ini ada tiga gitar dan beberapa perkusi. Semuanya adalah peralatan teater Beliau yang memang aktivis teater kampus. Motonya mantap. ‘Jangan sampai kuliah mengganggu teater’.

-~o0o~-

Bangkit menenteng gitar akustik coklat muda, aku mengambil posisi di sudut kasur. Dika kupaksa bangun untuk memberi ruang kepadaku. Kini di atas kasur duduk bersemayam Ungu Clickers, Saudara Dika Politikus, dan aku. Masing-masing dengan gitar akustik di tangan layaknya tiga orang tentara yang sedang menguji senapan serbu masing-masing di hamparan gurun seperti dalam film The Hurt Locker, pemenang Best Picture dalam ajang Academy Award bulan Maret lalu. Ungu Clickers membidik sasaran dengan senapan M-16 buatan Amerika Serikat. Ringan dan akurasinya tajam. Namun senjata ini rewel jika kena air atau pasir. Gampang macet. Letusan terdengar, peluru melesat disertai asap tipis. Dari alat ukur mutakhir menunjukkan daya jelajah tembakan senjata ini 550 meter.

Kini giliran Dika menembak. Ia memilih menggunakan AK-47 buatan Uni Soviet (sekarang Rusia). Lebih berat namun akurasi agak lemah. Senjata ini menjadi favorit para anggota GAM termasuk teroris di negeri ini karena bandel dan mudah perawatannya. Senapan ditembakkan. Peluru menembus jarak 400 meter. Saatnya tiba giliranku. Aku mencintai produk dalam negeri. Aku bangga menjadi orang Indonesia. Karena itu aku menggunakan senapan SS-2 buatan PT.PINDAD. Senapan ini melesatkan pelurunya dengan sistem piston. Memang sengaja diciptakan mengambil perpaduan M-16 dan AK-47. Bahannya ringan, akurasi tajam, dan bandel. Teruji setelah dicoba dimasukkan ke air dan pasir berkali-kali, tidak macet. Didesain menyesuaikan dengan postur tubuh orang Indonesia. Kuambil posisi menembak. Memang nyaman. Dess...melesat jauh. Alat ukur memberitahukan keunggulan senapan serbu ciptaan anak bangsa ini. 600 meter!

-~o0o~-

Saatnya mengambil alih keadaan. Jam session mengalir saja waktu itu. Aku yang masih amatiran hanya bisa genjreng-genjreng. Lagu-lagu paling gres banyak yang tidak kuketahui chord-nya. Hanya Ya Sudahlah dari Bondan Prakoso & Fade2Black yang bisa kumainkan. Itupun diberitahu Dika beberapa waktu sebelumnya. Hanya satu lagu yang kuhapal penuh musiknya. Single PADI yang merajai selama hampir 2 tahun di MTV Ampuh saat aku SMA dulu. Kumulai dengan intro. Mahadewi. Secara otomatis Ungu Clickers memainkan melodi seakan-akan sedang menembakkan M-16-nya yang ringan, pas untuk melodi. Dika mengikuti dengan betotan basnya. Seandainya yang dipegangnya gitar bas, cocok seperti AK-47 yang sedikit berat. Bagiku gitar bas terkesan berat. Sesuai bunyi yang dihasilkannya. Dem..dem..dem.. Praktis aku merambah posisi rhytm. Cuma hmm..hmm..hmm..yang keluar dari mulutku. Aku tidak hapal liriknya. Tapi lagu dapat diselesaikan dengan baik.

Usai Mahadewi, kualihkan dengan Balikin milik Slank. Ungu Clickers tetap tidak mau jauh-jauh dari Ungu. Okelah, aku manut. Tapi hanya lagu lama Ungu yang kutahu dan kuncinya memang sederhana, Jika Itu Yang Terbaik. Tanpa dikomando, Ungu Clickers mengalihkan ke intro O..o..o.. punya GIGI. Aku request lagu Damainya Cinta, kemudian berlanjut ke Ku Ingin, masih dari GIGI. Tidak biasanya Dika tidak memberontak. Lagu-lagu seleranya agak asing bagiku. Tapi saat ini ia banyak diam, namun betotannya masih baik. Kulirik jam di telepon selularku. Sudah jam 21.30. Pantas saja Dika loyo. Baterainya sudah lowbat. Dika punya kebiasaan tidur jam 22.00. Pengaturan istirahat tubuhnya sudah sistematis. Bila jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, mekanisme tubuhnya akan shut down secara otomatis. Tidak pandang tempat apalagi bulu. Terlebih sekarang sedang di atas kasur. Pas. Tapi anehnya mekanisme on tidak diatur secara otomatis. Kadang sebelum subuh, lain waktu pas adzan subuh ia bangun. Namun lebih sering molor. Mungkin sugesti anak dewasa tertancap begitu dalam di alam bawah sadarnya sehingga dalam mimpi ia benar-benar Dika sang politikus. Dika anak dewasa dalam mimpinya. Untuk menghormatinya kumainkan tembang bule andalanku. I’m Yours dari Jason Mraz sebagai penutup.

-~o0o~-

Sejatinya malam itu kami akan merekam jam session dengan webcam laptop Dika. Dengan aktor utamanya adalah Beliau. Kami mendaulat Beliau sebagai penggebuk drummer. Eh salah, penggebuk drum. Walaupun tidak ada perangkat drum, benda apapun di ruangan itu bisa digunakan menggantikan drum. Tersedia galon, perkusi, kardus, kotak laptop dan lain sebagainya. Mungkin para anggota Jam’iyyah Facebook-iyyah sempat menyaksikan ketangguhan Beliau dalam memainkan drum beberapa waktu lalu. Dengan latar belakang kipas angin yang menggeleng-gelengkan kepalanya menyaksikan atraksi Beliau: menggebuk gitar. Dahsyat. Sebuah tindakan pendzoliman alat musik!

Video tersebut mendapatkan komentar sangat banyak. Ada yang kagum namun banyak juga yang takjub. Video yang menggegerkan jagat Facebook ini adalah ulah Dika. Tanpa restu dari Beliau, Dika meng-upload-nya. Sontak ini membuat Beliau berang. Sampai-sampai Dika tidak disapa bahkan dianggap tidak ada oleh Beliau selama 3 hari! Kejam dan tragis. Makanya ketika kami ajak rekaman lagi Beliau menolak dengan tegas. “Malu awak,” katanya.


bersambung....



-~ J.J. Ahmad ~-
Blitar, 23.09.2010

*) Mabes merupakan kos-kosan unik yang dihuni 3 orang alumni SMA DU2 BPPT Jombang angkatan 6 (2002) yang nyentrik. Tempat ini menjadi posko dan destinasi wajib alumni angkatan 4, 5, 6, 7, 8 dan masyarakat DU2 Community pada umumnya bila berkunjung ke Surabaya. Berlokasi di Gebang Kidul No.54 Surabaya (di seputar kampus ITS)


















Momen langka di ruangan ini dikunjungi 3 gadis Mutiara Timur, hasil konspirasi penduduk Mabes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar