Minggu, 24 Oktober 2010

Subsidi untuk Siapa?

Beberapa waktu yang lalu penulis berkeluh kepada seorang kawan soal motor yang susah diajak lari kencang. Akselerasi motorku tidak bisa spontan. Untuk mencapai top speed harus digiring dalam jarak yang cukup jauh. Singkat cerita kawan itu kemudian menyarankan mengganti bahan bakar dengan Pertamax, sebuah merek gasoline milik Pertamina. Memang sedikit mahal, tapi efeknya pada motor sangat memuaskan, demikian kata kawan itu. Tapi, pada akhirnya kuabaikan saja nasehat teman itu, dibayar berapa oleh Pertamina kawan ini, pikirku.

Porong – Surabaya kurang lebih berjarak 35 kilometer. Tiap hari kulalui jalanannya yang selalu ramai bolak-balik. Capek juga sih, tapi apa boleh buat, Surabaya sudah seperti kampung sendiri.

Seperti pada umunya pengendara motor di wilayah urban, pengendara motor di jalan antara Surabaya – Porong berkarakter kebut-kebutan dengan jarak yang pendek. Akselerasi menjadi syarat utama untuk kebut-kebutan di jalan yang ramai seperti itu. Untuk motor dengan tarikan loyo sudah pasti akan menjadi bulan-bulanan motor lain.

Huh! Kesalnya minta ampun saat menjadi yang terlemot selama diperjalanan. Harus ada perubahan! Pikirku. Bermunculan kemudian ide untuk me-upgrade mesin. Menaikkan kompresi dengan memangkas dua atau dua setengah milimeter blok mesin, mengganti CDI, knalpot dan busi dengan jenis racing, dan sebagainya. Hitung kena hitung, rupanya total ongkosnya jauh dari dikatakan murah, sementara tabungan belum juga tambun. Hmm.. apa boleh buat, musti sabar menunggu sampai tabungan cukup.

Suatu hari penulis keluar kota untuk mengunjungi seorang kawan. Membayangkan motor yang lemot rasanya berat akan memulai perjalanan. Berhubung janji harus ditepati, akhirnya dengat berat hati berangkat juga.

Ditengah-tengah perjalanan bahan bakar habis, harus segera menepi untuk mengisi bahan bakar. Saat hendak masuk SPBU, teringat nasehat kawan beberapa waktu lalu untuk mengganti bahan bakar dengan Pertamax. Boleh juga, pikirku. Akhirnya kuputuskan untuk mencoba saran itu.

Kalau dihitung-hitung harga 10 ribu Premium itu setara dengan harga 15 ribu lebih sedikit Pertamax. Tak apalah selisih lima ribu perak, semoga saja benar apa yang disarankan kawan itu.

Selesai mengisi bahan bakar, perjalanan kulanjutkan. Begitu handle gas kuputar, wuss! Gila, enteng bener tarikannya, begitu reaksiku pertama kali. Rupanya benar apa yang disarankan kawan itu. Motorku jadi lebih enak diajak ber-akselerasi. Jadilah perjalanan ke luar kota itu sangat menyenangkan. Sekarang motorku bisa diajak lari kencang. Terimakasih, kawan! Sejak saat itu motorku cuma mau mengkonsumsi Pertamax. :))

Angka oktan produk Pertamax adalah 92, sedangkan produk Premium 88. Pertamax jenis unlieaded gasoline, bahan bakar tanpa timbal, sedangkan premium dari jenis dengan campuran timbal. Oktan yang tinggi menjadikan Pertamax lebih besar menghasilkan energi, juga lebih ramah lingkungan dibandingkan Premium. Soal harga, Pertamax lebih mahal 2300 perak dibanding Premium. Untuk jumlah liter yang sama, Pertamax lebih panjang jarak tempuhnya, akan tetapi harga yang terpaut tinggi menjadikannya tidak lebih ekonomis dari Premium, itu mungkin yang menjadikannya kurang populer.

Untuk motor dengan perbandingan kompresi mesin 9:1 ke atas disarankan menggunakan Pertamax. Karena Pertamax memiliki titik bakar lebih tinggi dibandingkan Premium, sehingga bahan bakar tidak akan terbakar sebelum piston mencapai TMA (Titik Mati Atas). Terbakarnya bahan bakar sebelum piston mencapai TMA akan membebani putaran mesin. Mesin menderita dorongan balik yang melawan putaran mesin, ini menjadikan motor kehabisan nafas saat putaran tinggi.

Baiklah, mari kita beralih kepada persoalan yang lebih luas dan urgen. Persoalan energi. Kelangkaan energi menjadi isu yang mutakhir saat ini. Di seluruh dunia sedang gencar-gencarnya dilakukan kampanye hemat energi atau energi alternatif pengganti bahan bakar fosil. Produsen-produsen kendaraan ternama juga berlomba-lomba membuat prototipe kendaraan dengan energi tergantikan, solar energy misalnya. Isu kelangkaan energi itu dipicu oleh naiknya harga minyak mentah dipasaran global hingga di atas 100 US$ beberapa waktu lalu. Hingga sekarang negara-negara diseluruh dunia bersiap-siap untuk menghadapi kasus kelangkaan serupa di masa depan.

Di Indonesia sendiri, volume BBM yang disubsidi Negara, terdiri dari: premium, solar dan kerosen mencapai 36.5 juta kiloliter pada tahun 2010. Pada akhir tahun jumlah proyeksinya bertambah menjadi sekitar 39.23 juta kiloliter, dengan selisih harga minyak mentah yang ada dipasaran terhadap harga asumsi APBN-P, kita masih bisa menutupnya. Khusus jumlah premium yang disubsidi untuk kemudian dihabiskan rame-rame oleh pemilik kendaraan bermotor sebesar 21.43 juta kiloliter. Kalau dihitung secara kasar, anggaran subsidi untuk premium sebesar 49.28 triliun! Cukup besar bukan?

Dan, ironisnya para pengguna mobil yang rata-rata golongan menengah ke atas juga ikut menikmati subsidi ini. Padahal, sudah seharusnya subsidi diperuntukkan untuk golongan menengah ke bawah. Dimana, mahalnya biaya transportasi masih juga membebani neraca anggaran dan belanjanya.

Seharusnya hanya transportasi umum yang berhak untuk itu. Sebab, transportasi umum diharapkan dapat menyelesaikan persoalan (baca: mengurangi) padatnya lalu lintas di wilayah urban.

Tidak dapat dipungkiri, menarik subsidi bukanlah kebijakan populis. Akan terjadi gejolak di masyarakat seandainya itu dilakukan oleh pemerintah. Gelombang demonstrasi dan konflik politik akan segera terjadi menyusul pemberlakuan kebijakan itu. Imbasnya, partai politik yang mengusung presiden terpilih akan bangkrut popularitasnya. Saya yakin seribu persen mencabut subsidi BBM tidak akan pernah dilakukan oleh pemerintahan sekarang hingga berakhir masa jabatan.

Dituntut kesadaran dari masyarakat untuk tidak menganggap enteng persoalan subsidi ini. Ya, kita butuh subsidi, tetapi subsidi harus tepat sasaran! Tidak kemudian yang mampu ikut menikmatinya. Dan, sebelum ada formula untuk mengatur itu, mari kita berkaca pada diri sendiri kemudian bertanya: pantaskah aku disubsidi?

~Ato Urroichan~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar